Cerpen Cinta Butiran Tasbih

Wednesday, May 13, 2015

BUTIRAN TASBIH

   Bumi yang bergetar kerana gemuruh petir yang menyambar, hujan yang turun dengan deras akibat awan yang diperas sekuat-kuatnya. Angin yang berhembus menerobos celah-celah baju mendirikan bulu-bulu halus dan ditidurkan kembali oleh hangatnya sinar matahari dan olehnya pula air mata ini dikeringkan.Teras,
disitulah aku melamun membayangkan nasib yang seakan membuatku ingin mati bunuh diri, bodohnya aku jika itu sampai terjadi. Apa yang akan aku jawab ketika aku ditanyai malaikat, sedang di dunia aku belum pernah merasakan nikmatnya sholat lima waktu, puasa, apalagi sholat malam, bagiku tidur adalah lebih nyaman dibandingkan bercengkerama dengan Tuhan. menurutku pelajaran agama itu asing dan membosankan. Orang tuaku saja tidak pernah mengajarkanku betapa pentingnya agama. Mereka selalu disibukkan oleh pekerjaan hingga mereka tidak sempat meluapkan emosi dengan liburan dan bersenang-senang. Mereka saling meluapakan emosi dengan caranya sendiri, dan jika mereka saling bertengkar pemandangan piring terbangpun tak usah aku repot-repot untuk mencari di internet di rumahkupun hal itu sering terjadi. Seandainya aku dibesarkan dikeluarga yang harmonis. Tapi,
 “praakk.” Aku tersentak dalam lamunanku, aku berdiri dan berlari ke dapur disitulah ibuku dan ayahku saling bertengkar. Disitu pandanganku langsung tertuju pada adikku, Lika yang berdiri di depan kulkas dekat pintu dapur bagai mayat hidup yang tak berkata sepatahpun, sebenarnya aku ingin menangis, tapi apalah jika aku menangis tak akan membuat mereka sadar akan keegoisan mereka. Akupun menghampiri adikku yang tertegun melihat kedua orang tuaku bertengkar. Hanya isyarat tangan yang ditujukannya kepadaku.
“Mbak, ada apa? Mengapa mereka bertengkar? Apa yang mereka bicarakan? Apa karena mereka mempunyai anak seperti aku sehingga mereka menjadi seperti ini?”. Dengan kebingungan dia ingin tahu apa yang terjadi. 
Deg, hatiku terasa berhenti tiba-tiba ketika mengetahui maksud dari pertanyaan terakhir yang ditunjukkan kepadaku. Dengan mata yang berkaca-kaca sontak saja aku langsung mengisyaratkan kata “Tidak” dengan kedua tanganku. 
Sepuluh menit berlalu mereka berdua tak saling berbicara, malah emosi ibu semakin naik ketika aku lupa mencuci kaos kaki yang hanya aku letakkan saja di bawah meja belajarku. Selalu dengan nada tinggi ibu memanggilku, “Aliya!, sudah kaos kaki bau ditaruh di bawah meja.” Dengan terburu-buru aku menghampiri ibuku .“Aduh, mati aku.” Lebih-lebih jika aku lupa menaruh handphone di kamar mandi, bisa-bisa handphonku diceburin sekalian ke bak mandi. Aku tak akan marah pada ibuku, karena menurutku ini adalah ungkapan kangennya karena sehari-hari hanya berkutat di kantor. Tapi aku juga bosan jika ibu terus-terusan mencari kesalahanku yang memang tidak ada habisnya. 
***
Seperti biasa, aku berangkat sekolah tanpa cium tangan kedua orang tuaku, itu memang sudah terbiasa dalam keseharianku. Setiap pagi Ibu selalu sibuk mempersiapkan map yang akan dibawanya bekerja. Ahh, bekerja dan bekerja. Tanpa salam, tanpa diantar. Sebenarnya aku iri pada teman-temanku, apalagi sahabatku, Lufi. Dia memang bukan anak orang kaya, tapi orang tuanya selalu memperhatikannya, lebih-lebih jika aku menjemputnya, melihat lufi mencium tangan ibunya. Sungguh adegan yang mustahil terjadi padaku.
“Al, apa kabar adikmu? Pengen deh, ketemu dengannya.” Tanya Lufi sambil memboncengku.
“Baik, malah dia pengen banget ke rumah mbah kakung. Tapi biasalah, ibu sibuk dan ayah lebih sibuk lagi. Aku pengen punya orang tua seperti orang tuamu, perhatian.” Jawabku dengan mengeluh.
“Kita kan sudah menyelesaikan ujian akhir sekolah, dan satu minggu lagi kita libur, jadi apa salahnya jika kamu ajak Lika ke ke rumah mbah kakungmu, sekalian aku juga ikut.” Usul Lufi.
“Emm, bolehlah.” Jawabku.
***
Sesampainya di sekolahan aku merasa aneh, teman-temanku hampir semuanya memakai jilbab termasuk sahabatku Lufi, sedangkan aku seperti orang tak tahu agama, karena aku memang tak sepenuhnya mengerti agama. Aku sudah sering diingatkan ibu Lufi agar aku makai jilbab, tapi bagiku lebih berat untuk beli kosmetik. Butuh berpikir dua kali bagiku untuk memakai jilbab. Dan ibuku pasti heran jika aku sampai mau memakai jilbab yang menurutnya membuat gerah.
***
Dua minggu berlalu, dan saatnya aku meminta ayah dan ibu agar mengizinkanku dengan Lika menginap di rumah mbah kakung, ya tepatnya di desa. 
“Ya, hati-hati. Jaga adikmu.” Ujar ayahku yang sedang membaca koran. Ayah langsung menghubungi telepon rumah mbah kakung memberitahu beliau bahwa kami akan pergi ke kediamannya. Pagi ini juga aku dan Lika bersiap merapikan baju dan berbagai perlengkapan, sedang Ibuku sibuk membuatkanku bekal di perjalanan. Terselip di benakku, andai saja ini setiap hari terjadi padaku. Pasti aku takkan mengeluh tentang sikap mereka setiap hari.
***
Rumahku berjarak sekitar 200 meter dari jalan raya, sesampainya di pinggir jalan raya, aku melihat Lufi yang sedang menunggu kedatanganku dan Lika. Sekitar 10 menit kemudian angkutan umum datang menghampiri kami, segera kami menaiki angkutan tersebut dan mencari tempat duduk. Bayangan desa yang asri dan jauh dari hiruk pikuk kota terbawa ke dalam tidurku yang nyenyak, sekitar 2 jam kami tiba di desa Malebo, yaitu desa dimana mbah kakung dan nini tinggal. Kami berjalan melewati pematang sawah yang sangat luas, dan disanalah gubuk kecil, kami beristirahat. Aku terpaku menatap seorang pria yang memakai caping dan mengayunkan sebuah tongkat kecil nan panjang bersama bebek-bebeknya. Aku menghela napas panjang, “Damainya hati pemuda itu.” Aku tersentak dari lamunanku ketika salah satu bebeknya lepas dari arahanya, dia mengejar-ngejar bebek tersebut, sontak aku tertawa melihatnya seperti anak kecil, bukannya aku menangkap bebek itu ketika bebek itu berlari menuju ke arahku, aku malah memukulnya dan membuat bebek tersebut berlari entah kemana. Dan tiba-tiba dia melihatku tertawa terbahak-bahak. Mungkin dia marah atau malu, dia langsung menghampiriku, dan tiba-tiba memarahiku.
“Kamu orang kota? Nggak ngerti orang sedang kesusahan?”.
 Aku tidak menjawab pertanyaannya malah aku semakin menertawainya ditambah Lika dan Lufi juga ikut menertawainya. Si pemuda itu mungkin tambah emosi dan keluarlah kalimat, “Kamu dan teman-temanmu harus ganti rugi bebekku yang hilang!”. Kami bertiga langsung berhenti menertawainya. Tanpa basa-basi kami bertiga berlari terbirit-birit, sampai-sampai tali sendalku putus karena terjebak di dalam lumpur sawah.
***
Sesampainya kami di rumah mbah kakung, nini sudah menunggu kami di teras rumah. 
“Ya Allah. Tekan ngendi wae kowe mau?” Sontak saja nini kaget dengan pakaian dan badan kami yang penuh lumpur sawah, langsung saja nini menjewer telinga kami, sedangkan kami hanya bisa tertawa saja. Setelah kami bertemu dan bersalaman dangan mbah kakung aku, Lika, dan Lufi membersihkan tubuh lalu makan siang.
“Al, gimana kabar bapak ibukmu di kota? Enggak marahan lagi to?” Mbah kakung mulai pembicaraannya denganku.
Aku harus menemukan alasan, 
“Mboten kok mbah, tidak ada masalah. Malah semakin membaik, lagipula mereka kan sampun dewasa mboten usah dipikir.”
“Mbah kan cuma nanya.” Ujar mbah kakung.
“O, iya, kalian tadi kok lari-larian kaya bocah wae, dari mana? Sawah?” Tanya nini.
“Nini iki gimana to, kan jalan satu-satunya harus lewat sawah.”
“Kok bajunya bisa kotor semua?” tanya nini kembali.
Aku dan Lufi menjelaskan pada mereka, dengan bahasanya pula Lika juga ikut menjelaskan. Mbah kakung dan nini malah ikut tertawa terbahak-bahak.
***
Malam ini adalah malam yang sunyi. Burung hantu yang menjadikan pohon rambutan sebagai singgasananya dan bunyi yang keluar dari mulutnya, suara angin yang berhembus menjadi sebuah nyayian dalam lamunanku memikirkan kehidupanku. Kalaupun aku yang membuat cerita dalam hidupku ataupun dalam angan-anganku pasti kan ku buat seindah mungkin. Tapi skenario Allah lebih indah. Memang sudah jalanku yaitu mempunyai orang tua tempramen dan seorang adik yang tuli. Terkadang ini tidak adil bagiku, tapi apalah hidupku lebih baik dan beramanatkan sabar. Saat itu juga aku terlelap dalam tidurku.
***
“Sudah gadis kok bangunnya masih siang. Nduk, bangun sholat subuh.” Nini membangunkanku dan menyuruhku membangunkan yang lain.
“Aduh, mati aku. Gak bawa mukena, kelihatan banget kalo aku gak pernah sholat.” Jawabku dalam hati. 
Lantas aku membangunkan yang lain. 
“Mbah kakung kemana ni?” Tanyaku pada nini 
“Mbahmu ke mushola, kita sholat di rumah saja, lebih baik.” Ujar nini.
Selesai kami melaksanakan sholat shubuh, aku dan Lufi menyapu halaman. Sedangkan Lika ikut mbah kakung ke kebun kopi.
Nini yang sedang menungu penjual sayuran keliling sembari menyulam sebuah taplak meja. Tak nyana aku melihat pemuda itu, pemuda yang memarahiku karena bebeknya. Entah dia sedang menuju kemana, tetapi dia melihatku menyapu halaman. Aku juga melihatnya tetapi dengan tatapan sinis, karena aku tidak mau mengganti bebeknya yang hilang. Sebuah rambutan busuk jatuh tepat mengenai kepalaku, dan dia melihatku menggosok-gosokkan telapak tanganku ke kepala, dia hanya menunggingkan seyumnya, mungkin dalam batinya dia tertawa. Ah memalukan. 
Tak lama kemudian seorang penjual sayuran yang membawa gerobaknya berhenti di pinggir jalan, ninipun menghampiri penjual tersebut, ibu-ibu yang ada di sekitar lingkungan tersebut juga ikut berkerumun memilih sayuran. 
***
Sekitar pukul 2 siang mbah kakung mengajakku berbicara di teras. Ternyata mbah kakung meminta salah satu cucunya yaitu bernama Alin, dia adalah anak dari pamanku yang ada di Jember untuk menginap di rumahnya entah berapa lama, intinya mbah kakung dan nini ingin merawatnya. Selang 2 jam kami berbincang-bincang. Ada salah seorang perempuan muda memakai jilbab yang sedang hamil menghampiri kami yang sedang duduk-duduk di teras sepertinya dia seusiaku.
“Siapa dia Al? Ada perlu dengan ninimu kali.” Tanya lufi padaku.
“Entah.” Aku juga ikut keheranan.
Nini langsung berdiri menghampirinya, dipanggilnya aku untuk membawakan tasnya.
“Inikah perempuan yang bernama Alin?” Tanyaku pada perempuan tersebut.
“Iya, saya Alin.” Jawab perempuan tersebut.
Kami membawanya ke kamarku dan disana dia akan tidur denganku sedangkan Lufi tidur dengan Lika.
Mbah kakung dan nini mengajak Lika keluar dari kamar kami, hanya aku, Lufi dan perempuan tersebut yang ada di kamar. Lantas aku bertanya 
“Mbak, hamil berapa bulan?” Tanyaku penuh keheranan.
“Enam bulan mau masuk tujuh.” Ujar perempuan tersebut.
“Kenapa datang nggak dengan suami?” tanya Lufi pula.
“Boleh saya bercerita?” sepertinya ada yang ingin disampaikan perempuan tersebut.
“Mbak Alin boleh bercerita apa saja dengan kami.” Jawabku.
“Sebenarnya saya masih kelas 3 SMA, dan usia saya masih 17 tahun, saya seperti ini karena pergaulan. Saya sering keluar malam dan berpacaran yang tidak jelas. Bermain sosial media adalah salah satunya, saya terjebak oleh kawan saya sendiri. Saya tidak tahu harus bagaimana lagi, kalau saya memutuskan untuk menjauh darinya maka saya akan diancam atau bahkan dia ingin menjual saya, sekarang hal ini sering terjadi di kota-kota. Karena hal ini pula saya tidak melanjutkan sekolah, ibu dan ayah juga tidak mau merawatku, mungkin karena mereka malu harus ikut menanggung bebanku. Harus bagaimana lagi nasibku kalau aku tidak punya mbah kakung dan nini, pasti hidupku akan terlantar.” Tegar sekali perempuan itu menceritakan kepada kami.
“Suami?” Tanya lufi padanya.
“Suami? Tidak ada suami, bagaimana aku akan menikah jika pacarku saja melarikan diri, tidak ada gunanya mengejar seseorang yang sudah bertekad melarikan diri, lebih tepatnya tanpa tanggung jawab.”
“Alamak, masih muda, hamil tujuh bulan dan ditinggal sang pacar!” Batinku sambil menelan ludah.
Aku menghela napas panjang. Kalau sudah begini siapa yang salah? Tapi juga tidak ada yang benar antara keduanya.
Setelah mbak Alin menjelaskan kronologisnya kepada kami, suasana di kamar semakin hening.
***
Sore harinya aku disuruh mbak Alin membeli beberapa perlengkapan mandi, dan ketika aku melewati sebuah mushola terdengar suara Azan yang sangat merdu, suaranya membuat merinding orang yang mendengarnya, baru pertama kali aku terpesona oleh suara tanpa nada yang sangat indah. Membunyikan dengan meliuk-liuk menambah pesona Sang Pencipta. Lagi-lagi aku menelan ludah, karena terlihat dari kaca mushola ternyata pemuda itu yang sedang Azan. 
“Eh, kenapa aku jadi berdiri di samping kaca mushola.” Aku langsung melanjutkan langkahku.
Ketika sampai di rumah aku masih terbayang dengan suaranya yang mengajak para insan untuk sholat berjamaah, tapi bagi perempuan kan sholat di rumah lebih baik. “Ah, sholat dan sholat, aku saja baru kemarin belajar sholat subuh.”
Setelah merapikan baju-baju yang sudah kering, terselip dalam benakku
“Apa aku memakai jilbab saja ya? Tapi bajuku hampir semuanya lengan pendek dan celanaku jeans, apa boleh jika aku pakai celana jeans dengan baju lengan panjang?” Gurauku.
“Ya, lebih baik pakai jilbab dan baju serta celana yang longgar.” Ujar Mbak Alin yang tenyata mendengar celotehku. Akupu terdiam mendengarnya.
“Aku juga memakai jilbab baru dua bulan ini, dulu aku perpakaian serba pendek. Ya, kamu mengertilah orang kota. Dan aku menyadari bahwa pakaian yang menutup aurat itu akan menjaga kita dari kejahatan. Sempat pula aku berfikir, mengapa tidak dari dulu aku sudah mengenakannya. Tapi semuanya tinggal kata terlanjur, mau dikembalikan lagi sudah tidak bisa. Dan mumpung kamu masih muda, kenakanlah jilbabmu karena wajib bagi perempuan muslim, dan jika kamu mau memakainya, pakaianmupun harus longgar, jangan yang membentuk tubuh.” Ternganga aku mendenengarkannya berbicara layaknya guru agama.
“Kalau aku memakai jilbab, nanti bagaimana kalau tiba-tiba aku disuruh mengaji, alif, ba’, ta’ saja aku belum sepenuhnya hafal.” Ujarku dan mbak Alin tertawa melihatku.
“Mbak kok tertawa, aku memang belum sepenuhnya bisa mengaji.” Jawabku.
“Ya minta ajar mbah kakung.” Ujar mbak Alin.
***
Mentari pagi menyinari rumput dan ilalang yang bersemi, mengeringkan daun dengan bulir-bulir embun di atasnya. Menyanjung anak desa yang tersenyum, ingin rasanya aku mengikuti mereka bermain. Ini adalah hari ke empat aku, adikku dan Lufi di desa, dan hari ini akulah yang ke pasar untuk berbelanja sayuran. Tak ku sangka seorang pemuda yang memarahiku di sawah dan mempunyai suara azan yang indah menghampiriku, jantungku rasanya ingin copot. Aku takut kalau-kalau dia memintaku mengganti rugi bebeknya yang hilang.
“Mbak, cucunya mbah Romo? Saya nitip surat dari bapak saya.” Ujar pemuda itu.
Saat itu aku hanya terdiam saja. Tanpa sepatah katapun, ternyata pemuda itu sangat sopan. 
“Ah, mengapa jadi memujinya.” Batinku.
“Iya nanti saya sampaikan.” Jawabku.
Pemuda itu langsung meninggalkanku dan aku lupa menanyakan namanya.
“Mas, namanya siapa?” Aku berteriak.
“Azam!” Jawab pemuda itu.
***
Sesampainya di rumah aku langsung memberikan surat yang diberikan Azam untuk mbah kakung.
“Mbah, apa isinya?” tanyaku.
“Bukan apa-apa, cuma nanya kabar.” Jawab mbah kakung.
“Rumahnya jauh to mbah, kok pakek surat.” Tanyaku sambil masuk ke dapur. Dan mbah kakung tidak memberikan jawaban. Tanpa aku sadari, aku memikirkan pemuda yang bernama Azam itu. Apalah aku ini, memikirkan yang tidak jelas. Bahkan ketika aku disuruh nini mengambil pisau yang ku ambil malah centong. 
“Al, sudah punya pacar belum?” Tanya mbak Alin dengan senyumannya. Lufi memerhatikanku dan tersenyum.
“Ah, belum mbak. Fokus sekolah dulu, dua minggu lagi kan saya UN.” Jawabku dengan malu.
“Ya lebih baik begitu, fokus sekolah dulu baru cari jodoh.” Ujar mbak Alin.
“Lagi-lagi jodoh, belum mikir sejauh itu sih.” Pikirku.
“Al, kapan pulang ke kota? Bentar lagi kan ujian.” Tanya nini padaku.
“Mungkin besok pagi ni.” Jawabku.
***
Pagi ini pula aku, adikku dan Lufi pulang ke kota. Dan mbak Alin tiba-tiba memberiku 33 butiran kecil dari kayu berwarna cokelat, diwadahkan sebuah kotak kecil dari kaca.
“Nanti suratnya dibaca kapan-kapan ya?” Ujar mbak Alin padaku. Entah apa maksudnya. 
Setelah kami berpamitan dengan mbah kakung dan nini. Kami kembali menyusuri jalanan sawah, dan kali ini aku tidak melihat pemuda itu dengan bebek-bebeknya di sawah ataupun di gubuk kecil tempat kami beristirahat. Melainkan orang-orangan sawah menghadap ke arahku dan sepertinya mereka ingin mengucapkan selamat tinggal. Setelah kami keluar dari desa tersebut, menuju jalan raya, untuk mencari kendaraan umum. Aku terkejut lagi-lagi aku melihatnya, seorang pemuda tampan menaiki sepeda onthel sedang membonceng ibunya, mungkin pulang dari pasar. Ibu lelaki itu tersenyum ketika melihat kami yang berpapasan dengan mereka berdua, dan pemuda itu melihatku dan mengangguk tersenyum. Kami lantas membalas anggukan dan senyuman mereka. Tak lama kemudian sebuah angkot menghampiri kami, bergegas kami menaikinya. Pikirku ini adalah kali terakhir aku bertemu dengannya.
***
Sesampainya di kota aktivitas ku lakukan seperti biasa dan kali pertama aku memakai jilbab di sekolah. Mereka semua heran padaku, mereka pikir aku habis berlibur ke pondok pesantren. 
“Al, gak salah lo pake jilbab. Udah pinter ngaji?” pertanyaan itu selalu terngiang di telingaku. Tapi tak satupun pertanyaan mereka yang aku jawab.
Sesampainya di rumah, aku bertanya pada ibuku yang kali ini dia tidak berangkat ke kantor.
“Bu, tidakkah ibu mau memakai jilbab? Ibu lihat perempuan sekarang sudah banyak yang memakai jilbab. Ibu tidak ingin seperti mereka? Kalau hal ini wajib bagi perempuan, berarti ibu harus mengenakannya bu.” Aku timpal beberapa pertanyaan pada ibu.
“Ibu akan coba Aliya.” Jawab ibuku dengan penuh harapan. Mungkin dengan ibu mau memakai jilbab bisa merubah perangainya setiap hari.
Pada saat yang berbeda aku ajukan pertanyaan pada ayah.
“Ayah lihat betapa harmonisnya hubungan mbah kakung dan nini, ayah tidak ingin seperti mereka? Mereka menjalani hubungan selama berpuluh-puluh tahun, dan ayah lihat mereka tidak pernah bertengkar seperti yang ayah dan ibu lakukan, bayangkan hal yang sama terjadi padaku dan Lika kelak. Pasti ayah dan ibu akan menyesal telah mencontohkan hal yang buruk pada kami.” Bagaikan seorang guru yang berceramah, dan aku tidak bermaksud begitu.
“Ayah akan berusaha.” Jawab ayah dengan penuh harap.
***
Hari-hari aku lewati dengan ujian dan ujian, sekarang adalah tanggal dimana kelulusan itu akan ditentukan. Dan Alhamdulillah, aku menyelesaikan studiku SMA dengan baik, kini saatnya aku berkuliah. Aku memutuskan untuk berkuliah di Solo, dengan usaha dan do’a aku berangkat meninggalkan ibu, ayah, dan Lika. Ini bukanlah usaha yang harus ditangisi kepergianya melainkan senyuman mereka yang akan menguatkanku ketika aku jauh dari mereka. “Ibu, ayah do’akan aku.” Rintihku dalam hati.
***
Dua bulan kemudian.
“Kriingg,kriing..” sekitar pukul 04.15 pagi telpon genggamku terus berdering. Entah siapa yang menelfon pagi-pagi buta.
“Assalamualaikum.” Ku mulai pembicaraan.
Dan tanpa menjawab salamku salah seorang perempuan tua sepertinya sedang menangis memberiku kabar bahwa,
“Innalillahi wa inna ilaihi rojiun, Alin baru saja melahirkan sekitar pukul 03.30 sehabis sholat tahajud dan sekarang dia dan bayinya sudah tiada.” Ternyata nini yang mengabariku dengan menangis terisak-isak.
“Innalillahi wa inna illaihi rojiun.” Saat itu juga badanku lemas tak berdaya berjalan ke kamar mandi saja aku tak kuasa, rasanya baru sebentar aku berbincang dengannya ditambah aku tidak bisa melayat karena tugas kuliah yang menumpuk serta lokasi yang sangat jauh dari rumah nini karena aku berada di luar kota bahkan luar provinsi.
Segera ku buka kotak kaca yang diberikan Mbak Alin padaku, terdapat sepucuk surat berwarna merah muda dan betalikan benang di dasar kotak tersebut, kali ini aku beranikan diri untuk membacanya. 
“Assalamuallaikum wr.wb
Bismillahirrahmanirrahim, akar dari segala kebaikan.
Aliya, kamu sudah dewasa. Jika kamu mengingatku, aku juga berusia sebesar usiamu. Aku ingin sekali bertanya, taukah kamu siapa Tuhanmu? Taukah kamu siapa yang mengawasimu setiap hari? Taukah kamu siapa yang mencatat perbuatanmu setiap hari? Taukah kamu malaikat yang mencabut nyawamu? Taukah kamu akan bertemu siapa jika kamu mati? Mungkin aku lebih dulu mengetahuinya. Tapi sayangnya aku tak bisa bercerita padamu akan hal-hal ini. Aku pernah bercerita padamu tentang hal bila aku tak bersuamikan di dunia, maka do’aku mempunyai suami di akhirat. Masa depanmu masih panjang, aku tak seberuntung hidupmu. Karena kau dapat memilih imam yang dapat kau jadikan panutan ke surga kelak. Dan butiran-butiran ini jadikanlah tasbih, sanjunglah nama-nama indah Allah dalam setiap jalanmu, basahilah bibirmu dengan berzikir, dan yang terakhir doakan aku didalam setiap sholat-sholatmu. Jaga hidupmu baik-baik.
Wassalamuallaikum wr.wb.
Alindya.
Sontak saja aku menangis terisak-isak. Inikah jalan yang diberikan kepadanya? Aku tak menyangka jika hal sedemikian berujung kematian. 
***
Dua tahun berlalu, Alhamdulillah ibu dan ayah tidak lagi bertengkar seperti yang dulu mereka perlihatkan kepada aku dan Lika, sekarang Lika sudah kelas satu SMP di Sekolah Luar Biasa, dia juga anak yang kreatif, dia suka membuat desain baju untuk beberapa penjahit di kotanya. 
Dan aku memutuskan untuk tidak meminta orang tuaku membiayai kuliahku aku ingin belajar mandiri, mulai dari mengajar anak panti dan menjadi guru TK. Saat aku di undang untuk pertemuan membahas dana untuk disalurkan ke panti asuhan. Aku terkaget-kaget, aku tak menyangka jika salah seorang pembicaranya adalah orang yang berasal dari desa tempat mbah kakung dan nini tinggal. Ya, Fatiha Al Azam. Pemuda tampan nan bersuarakan Azan yang lembut. Dalam pertemuan tersebut aku tak berbicara sedikitpun seperti yang biasa aku lakukan. Aku hanya menunduk, tak berani aku menatap wajahnya yang sendu apalagi mengusulkan pendapat, lebih-lebih jika dia masih ingat bebeknya yang hilang karenaku nanti bukannya membahas rapat malah aku disuruh ganti rugi. Ah, bebek lagi-bebek lagi.
Sekitar 2 jam rapat ini berlangsung, kami keluar dan mahasiswa lain berjabat tangan dengannya sedangkan aku, aku hanya menyatukan telapak tangan dan dengan wajah yang masih menunduk. Tiba-tiba dia mengatakan sesuatu,
“Sepertinya saya kenal dengan anda?, kaya pernah ketemu, em saya lupa.” Ujar pemuda itu.
“Iya, kita pernah bertemu di desa, saya yang menghilangkan bebek anda, saya yang menerima surat dari ayah anda untuk mbah kakung, dan nama anda Azam, saya yang bertemu anda terakhir kali ketika saya dan adik saya pulang ke kota, anda sedang membonceng ibu anda, mungkin pulang dari pasar. ” Aku beranikan menatap wajahnya dan menjawab pertanyaanya, mungkin karena terlalu panjang pemuda itu sampai ternganga melihatku. Aduh, bodohnya aku.
“Berarti anda masih ingat dengan saya, maaf dulu saya belum bertanya nama anda, maaf nama anda siapa?” tanya pemuda itu.
“Aliya, maaf saya buru-buru.” Jawabku tergesa-gesa.
***
Aku sering melihat pemuda itu mengisi sebuah rapat penggalangan dana dan mendengar dia Azan di sebuah masjid kampus. Sekitar 5 bulan kami selalu dalam pekerjaan yang sama, hingga pada suatu malam tepatnya sehabis sholat isya’ ada seorang anak kecil memberikan surat kepadaku yang isinya bertuliskan bahwa:
“Assalamuallaikum wr.wb.
Bismillah permulaan warkat
Dengannya pula semoga Allah memudahkan jalan kita.
Kepadamu wahai hawa aku ingin bertanya, dan kepadamu wahai fatimah aku ingin mengungkapkan bahwa aku ingin mengenalmu lebih dekat, apakah engkau bersedia? Balaslah suratku jika kau berkenan dan walaupun bila kau menolaknya.
Wassalamuallaikum wr.wb. 
Fatih Al Azam.”

“Assalamuallaikum wr.wb.
Bismillah Maha Pemurah lagi Maha Penyayang
Wahai anak cucu adam, jikalau memang kau bersedia dan ingin melamarku maka datanglah ke kediaman mbah kakung di desa, saya dan keluarga insyaallah kesana.
Wassalamuallaikum wr.wb.
Aliya Al Hakim.

Sekitar 4-5 hari kami di desa datanglah pemuda itu, jantungku terasa ingin copot. Dan tasbih pemberian mbak Alin selalu menemaniku untuk mengucapkan nama-nama Allah. Untung ada sahabatku Lufi dengan bayinya menghiburku di kamar. Saat itu aku ingin mengetahui pembicaraan mereka, tapi apa daya, nanti malah pingsan aku. Dan lufi memutuskan untuk keluar dan mengintip. Saat dia masuk ke kamarku,
“Alhamdulillah Al, sudah selesai. Berjalan lancar.” Ujar lufi dengan senyum yang mengembang.
Saat itu juga aku langsung bersujud syukur, ternyata indah sekali jalan yang ditunjukkan Allah padaku. Sekitar 1 bulan kemudian kami melangsungkan akad nikah agar tidak terjadi fitnah.
***
Dunia itu dicirikan dengan adanya kebalikan. Jika tidak pernah sakit, kita tidak tahu seperti apa rasanya sehat. Jika tidak mengenal kelaparan, kita tidak akan merasakan senangnya menjadi kenyang. Jika tidak pernah perang, kita tidak dapat menghargai perdamaian.
Segala sesuatu itu berjalan dengan baik apabila kita menjalankannya dengan kebaikan dan janganlah kita menunggu kebaikan sedang dalam diri kita sendiri tidak berbuat baik. 
Dan dalam kesabaran tersimpan berjuta kebahagiaan yang menunggu. 
Selanjutnya Segala sesuatu yang ada pasti akan tiada, kecuali Sang Penciptanya. 
***
cerpen by Elma Haslinda (15 th)